Selain ibadah haji dan kurban, ada amalan utama lainnya di bulan
Dzulhijjah yang sangat dianjurkan utuk dilakukan umat Islam, yaitu shaum
(puasa) Arafah yang jatuh sehari sebelum Hari Raya Idul Adha atau di
saat Jama’ah Haji berkumpul di Padang Arafah.
Dalam sejarah Islam, anjuran shaum Arafah ini muncul di masa generasi awal Sahabat Ridwanullah Ta’ala ‘Anhum yang memiliki semangat kuat dan membara untuk berlomba dalam hal kebaikan.
Para sahabat yang tidak mampu berangkat haji ingin tahu, apakah
mereka juga bisa mendapatkan pahala yang sama dengan manusia yang
berkesempatan melakukan ibadah haji dan wukuf di ‘Arafah. Maka jawaban
Nabi adalah mereka dianjurkan melakukan shaum Arafah.
Ibadah ini memiliki keutamaan yang semestinya tidak ditinggalkan
seorang muslim. Sebab, Shaum Arafah ini disunnahkan bagi umat Islam yang
tidak berkesempatan menunaikan ibadah haji.
Imam Muslim (w. 261 H) meriwayatkan sebuah hadits di dalam kitab ‘Shahih Muslim, dari Abu Qatadah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ
أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ
وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ
السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
Artinya:“Puasa ‘Arafah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa
setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram)
akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (H.R. Muslim)
Mengenai pengampunan dosa karena berpuasa Arafah, para ulama berbeda
pendapat. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah dosa kecil.
Al-Imam An-Nawawi (w.676 H) Rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini mengatakan, hadits-hadits semacam ini mempunyai dua penafsiran :
Pertama, menghapus
dosa-dosa kecil dengan syarat ia tidak melakukan dosa besar. Jika ada
dosa besar, maka tidak akan menghapus apapun, baik dosa besar ataupun
dosa kecil.
Kedua, Dan ini adalah pendapat yang lebih rajih (mendekati
kebenaran lagi terpilih), yakni shaum Arafah akan menghapus setiap dosa
kecil. Maksudnya adalah bahwa Allah Ta’ala mengampuni seluruh dosanya
kecuali dosa besar. Al-Qadhi ‘Iyadh (w. 544 H) Rahimahullahu
mengatakan, apa yang disebutkan dalam hadits-hadits ini berbicara
tentang pengampunan terhadap dosa-dosa kecil, selain dosa besar. Inilah
madzhab Ahlus-Sunnah, karena dosa besar hanya bisa dihapus dengan taubat
atau rahmat Allah Ta’ala.
Sebagian ulama lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan penghapusan
dosa untuk tahun depan adalah Allah Ta’ala menjaganya dari melakukan
dosa di tahun tersebut.
Dalam hal ini, Al-Imam Ash-Shan’any (w.1182 H) mengatakan,“Sulit
diterima penghapusan dosa yang belum terjadi, yaitu dosa tahun yang akan
datang. Pendapat itu dibantah dengan alasan bahwa yang dimaksudkan
adalah ia diberi taufiq (bimbingan) di tahun yang akan datang untuk tidak melakukan dosa.
Hanya saja itu dinamakan penghapusan untuk penyesuaian dengan istilah
tahun lalu atau jika dia melakukan dosa tahun yang akan datang, maka ia
diberi taufiq untuk melakukan suatu amal yang akan menghapuskannya”.
Terlepas dari ikhtilaf para ‘Ulama, Rasulullah menyampaikan kabar
gembira kepada kita, saat orang-orang berhaji dan berlomba mencari
kebaikan, maka yang tidak ikut berangkat juga mempunyai kesempatan untuk
ikut berlomba dalam hal kebaikan. Subhanallah, inilah sisi keindahan
Islam yang senantiasa membuka pintu-pintu kebaikan bagi pemeluknya.
Hukum Puasa ‘Arafah
Ibnu Muflih (Ulama Hambali, w. 763 H) mengatakan, “Disunnahkan
melaksanakan puasa pada 10 hari pertama Dzulhijjah, lebih lagi puasa
pada hari kesembilan, yaitu hari Arafah. Demikianlah yang disepakati
oleh para ulama.”
Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah ketika menjelaskan perkara ini, beliau
mengatakan, “Adapun hukum puasa ‘Arafah menurut Al-Imam Asy-Syafi’I
(w.204 H) dan ulama Madzhab Syafi’iyyah adalah disunnahkan puasa Arafah
bagi yang tidak berwukuf di Arafah. Adapun orang yang sedang berhaji dan
saat itu berada di Arafah menurut beliau disunnahkan bagi mereka untuk
tidak berpuasa, sejalan dengan pendapat para ulama Syafi’iyyah
berdasarkan hadits dari Ummul Fadhl:
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا
تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ
بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ
وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ
Artinya:“Dari Ummul Fadhl binti Al Harits, bahwa orang-orang
berbantahan di dekatnya pada hari Arafah tentang puasa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka mengatakan, ‘Beliau berpuasa.’
Sebagian lainnya mengatakan, ‘Beliau tidak berpuasa.’ Maka Ummul Fadhl
mengirimkan semangkok susu kepada beliau, ketika beliau sedang berhenti
di atas unta beliau, maka beliau meminumnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Hadits lainnya disebutkan oleh Maimunah :
عَنْ مَيْمُونَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّاسَ شَكُّوا فِى صِيَامِ النَّبِىِّ يَوْمَ عَرَفَةَ ، فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِحِلاَبٍ وَهْوَ وَاقِفٌ فِى الْمَوْقِفِ ، فَشَرِبَ مِنْهُ ، وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ
Artinya:“Dari Maimunah Radhiyallahu ‘Anha, ia berkata bahwa
orang-orang saling berdebat apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berpuasa pada hari Arafah. Lalu Maimunah mengirimkan pada beliau satu
wadah (berisi susu) dan beliau dalam keadaan berdiri (wukuf), lantas
beliau minum dan orang-orang pun menyaksikannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dan juga riwayat dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhuma :
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ
قَالَ حَجَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ
يَصُمْهُ يَعْنِي يَوْمَ عَرَفَةَ وَمَعَ أَبِي بَكْرٍ فَلَمْ يَصُمْهُ
وَمَعَ عُمَرَ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَصُمْهُ
Artinya:“Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma bahwa
beliau berkata, aku telah melaksanakan haji bersama Nabi Shallallaahu
‘Alaihi Wasallam sedangkan beliau tidak berpuasa di ‘Arafah, aku juga
pernah berhaji bersama Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu, dia juga tidak
berpuasa di ‘Arafah, aku pernah juga berhaji bersama ‘Umar Radhiyallahu
‘Anhu dan dia tidak berpuasa, demikian juga halnya bersama ‘Utsman dia
juga tidak berpuasa.”
Hadits ini diamalkan oleh kebanyakan para ulama, mereka mensunnahkan
bagi jama’ah haji untuk tidak berpuasa di ‘Arafah supaya kuat untuk
berdo’a.
Berkaitan dengan hal ini, Al-Imam At-Tirmidzi (w.209) mengatakan,
“Para ulama gemar melakukan puasa di hari ‘Arafah, kecuali jika mereka
berada di ‘Arafah (melaksanakan wuquf haji).”
Waktu Puasa ‘Arafah
Terjadi ikhtilaf dikalangan para ‘Ulama mengenai hal ini,
yakni waktu melaksanakan puasa ‘Arafah. Sebagian ulama memahami bahwa
ibadah ini dan juga ibadah Qurban (‘Idul Adha) tergantung pada sebab terlihatnya bulan Dzulhijjah, sebagaimana hal yang sama dalam menentukan permulaan Ramadhan dan Syawwal.
Sementara itu, ulama lain berpendapat bahwa ibadah ini mengikuti
ibadah haji di tanah Haram yang merupakan bentuk solidaritas para hujjaj. Dan dalam hal ini, pendapat kedua lebih mendekati kebenaran, hal itu didasarkan oleh beberapa alasan berikut :
Pertama, Telah
dijelaskan sebelumnya bahwa puasa ‘Arafah disunnahkan hanya bagi mereka
yang tidak melaksanakan wuquf di ‘Arafah. Ini mengandung pengertian
bahwa puasa ‘Arafah ini terkait dengan pelaksanaan ibadah haji/
wuquf. Jika para hujjaj telah wuquf, maka pada waktu itulah disyari’atkannya melaksanakan puasa ‘Arafah bagi mereka yang tidak melaksanakan haji.
Dalam nash-nash tidak pernah disebutkan puasa di hari kesembilan,
namun hanya disebutkan puasa ‘Arafah. Berbeda halnya dengan puasa
‘Asyuura yang disebutkan tanggal-nya secara spesifik.
Rasulullah bersabda,
عَبْد اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا،
يَقُولُ: حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ
إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَإِذَا كَانَ الْعَامُ
الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ» قَالَ: فَلَمْ
يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya:“Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallaahu ‘Anhuma, ia
berkata :“Ketika Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam berpuasa di
hari ‘Asyura dan memerintahkannya, para shahabat berkata : ‘Sesungguhnya
ia adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani’.
Maka beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:‘Tahun depan, insya
Allah, kita akan berpuasa di hari kesembilan”. Ibnu ‘Abbas berkata :
“Sebelum tiba tahun depan, Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa
sallam telah wafat.” (H.R. Muslim)
Dan juga sabda Rasulullah,
عن ابْنَ عَبَّاسٍ، يَقُولُ فِي يَوْمِ عَاشُورَاءَ : خَالِفُوا الْيَهُودَ ، وَصُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ .
Artinya:“Dari Ibnu ‘Abbaas ia berkata tentang puasa ‘Asyura’ :
“Selisihilah orang-orang Yahudi dan berpuasalah di hari kesembilan dan
kesepuluh” (H.R. Al-Baihaqy)
Adapun perintah berpuasa ‘Arafah adalah,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهُ، وَ السَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهُ
Artinya:“Puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada
Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun
yang akan datang”
Kedua, telah bersabda Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam,
فِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ، وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ
Artinya:“Berbuka kalian adalah di hari kalian berbuka,
penyembelihan kalian adalah di hari kalian menyembelih, dan ‘Arafah
kalian adalah di hari kalian melakukan wuquf di ‘Arafah” (H.R Asy-Syafi’iy dan Al-Baihaqy dari Atha’)
Mengenai hadits ini, Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata,“Telah berkata ulama’ madzhab Syafi’iyyah, “Tidaklah hari berbuka (‘Idul fitri) itu mempunyai pengertian hari pertama bulan Syawwal secara ‘muthlaq. Ia adalah hari dimana orang-orang berbuka padanya dengan dalil hadits ini (yaitu : ‘Berbuka kalian di hari kalian berbuka’).
Begitu pula dengan hari penyembelihan (Yaumun-Nahr/’Idul-Adha). Begitu
pula dengan hari ‘Arafah, ia adalah hari yang nampak bagi orang-orang
bahwasannya hari itu adalah hari ‘Arafah, sama saja apakah itu hari
kesembilan atau hari kesepuluh. Al-Imam Asy-Syaafi’iy Rahimahullah
berkata tentang hadits ini : Maka dengan inilah kami berpendapat.”
Jadi jelas perbedaannya bahwa puasa ‘Arafah tidak tergantung pada
urutan hari dalam bulan Dzulhijjah, namun bergantung pada pelaksanaan
wuquf di ‘Arafah.
Realisasi Puasa ‘Arafah
Setelah kita mengetahui perkara ini, tinggal yang terpenting adalah
prakteknya. Bagaimanapun juga, dengan merealisasikan puasa ‘Arafah
berarti kita telah menghidupkan salah satu sunnah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam.
Selain itu, artikel sederhana ini juga bisa disampaikan kepada
keluarga dan saudara kita yang lain, maka itu lebih baik, agar kita
memperoleh pahala karena telah mengajak orang lain berbuat baik.
Rasulullah bersabda,
فَوَاللَّهِ لأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
Artinya:“Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk
(oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta
merah.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Dan juga sabda Rasulullah,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
Artinya:“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim).
Hikmah Puasa ‘Arafah
Salah satu rahmat, hidayah serta karunia Allah pada hari ‘Arafah
adalah bahwa seseorang yang melaksanakan puasa pada hari ini, Allah akan
mengampuni serta menjaganya dari dosa setahun yang lalu dan yang akan
datang, maka sudah sekiranya kita berupaya untuk berpuasa dihari
‘Arafah.
Kemudian hikmah yang lainnya adalah bahwa dengan berpuasa pada hari
‘Arafah sebagai ganti dari ibadah Haji sebagaimana yang dilakukan para
Shahabat. Tidak bisa dipungkiri, ketika para hujjah saling
berlomba dalam hal kebaikan (Fastabiqul khairat), maka sudah seharusnya
bagi seorang muslim yang tidak melaksanakan wuquf di padang ‘Arafah
untuk tetap ikut andil dalam perlombaan dalam hal kebaikan.
Semoga Allah memudahkan kita dalam urusan serta ibadah kita dan amal ibadah kita diterima disisi Allah.
Wal Ilmu ‘Indallahi, Wallahu A’lam.