^_^

Minggu, 25 Oktober 2015

RIHLAH, Refreshing Ba'da UTS

|25 Oktober 2015,

Alhamdulillah, udah masuk tawakal momen. UTS alias mid semester udah usai, tinggal 'pasrah'in hasilnya ke Allah hhe (:
Guna nge-refresh pikiran nih, IRSAD ngadain rihlah, alhamdulillah seru-lancar-insyaALlah bermanfaat.
admin mewakili pengurus IRSAD mengucapkan SYUKRON berat buat para PJ,peserta,panitia,dan semua yang udah berpartisipasi . Jazakumullah khairan katsir !!

dokumentasinya? chek this one out ~
(silahkan tag masing2 ya ^_^ )



















Baca yang lengkap ...

Jumat, 16 Oktober 2015

PUASA ASYURA

Apa saja keutamaan puasa Asyura dan bagaimanakah sejarahnya?

Sejarah Puasa Asyura

‘Asyura adalah hari kesepuluh pada bulan Muharrom[1]. Dia adalah hari yang mulia. Menyimpan sejarah yang mendalam, tak bisa dilupakan.
Ibnu Abbas berkata: “Nabi tiba di Madinah dan dia mendapati orang-orang Yahudi sedang berpuasa A’syuro. Nabi bertanya: “Puasa apa ini?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari yang baik, hari dimana Allah telah menyelamatkan Bani Israil dari kejaran musuhnya, maka Musa berpuasa sebagai rasa syukurnya kepada Allah. Dan kami-pun ikut berpuasa. Nabi berkata: “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”. Akhirnya Nabi berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.[2]
Nabi dalam berpuasa ‘Asyura mengalami empat fase[3];
Fase pertama: Beliau berpuasa di Mekkah dan tidak memerintahkan manusia untuk berpuasa.
Aisyah menuturkan: “Dahulu orang Quraisy berpuasa A’syuro pada masa jahiliyyah. Dan Nabi-pun berpuasa ‘Asyura pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau hijrah ke Madinah, beliau tetap puasa ‘Asyura dan memerintahkan manusia juga untuk berpuasa. Ketika puasa Ramadhon telah diwajibkan, beliau berkata: “Bagi yang hendak puasa silakan, bagi yang tidak puasa, juga tidak mengapa”.[4]
Fase kedua: Tatkala beliau datang di Madinah dan mengetahui bahwa orang Yahudi puasa ‘Asyura, beliau juga berpuasa dan memerintahkan manusia agar puasa. Sebagaimana keterangan Ibnu Abbas di muka. Bahkan Rasulullah menguatkan perintahnya dan sangat menganjurkan sekali, sampai-sampai para sahabat melatih anak-anak mereka untuk puasa ‘Asyura.
Fase ketiga: Setelah diturunkannya kewajiban puasa Ramadhon, beliau tidak lagi memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa A’syuro, dan juga tidak melarang, dan membiarkan perkaranya menjadi sunnah[5] sebagaimana hadits Aisyah yang telah lalu.
Fase keempat: Pada akhir hayatnya, Nabi bertekad untuk tidak hanya puasa pada hari A’syuro saja, namun juga menyertakan hari tanggal 9 A’syuro agar berbeda dengan puasanya orang Yahudi.
Ibnu Abbas berkata: “Ketika Nabi puasa A’syuro dan beliau juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa. Para sahabat berkata: “Wahai Rasululloh, hari Asyura adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashoro!! Maka Rasululloh berkata: “Kalau begitu, tahun depan Insya Allah kita puasa bersama tanggal sembelilannya juga”. Ibnu Abbas berkata: “Belum sampai tahun depan, beliau sudah wafat terlebih dahulu”.[6]

Keutamaan Puasa Asyura

Hari ‘Asyura adalah hari yang mulia, kedudukannya sangat agung. Ada keutamaan yang sangat besar.
Imam al-Izz bin Abdus Salam berkata: “Keutamaan waktu dan tempat ada dua bentuk; Bentuk pertama adalah bersifat duniawi dan bentuk kedua adalah bersifat agama. Keutamaan yang bersifat agama adalah kembali pada kemurahan Allah untuk para hambanya dengan cara melebihkan pahala bagi yang beramal. Seperti keutamaan puasa Ramadhon atas seluruh puasa pada bulan yang lain, demikian pula seperti hari ‘Asyura. Keutamaan ini kembali pada kemurahan dan kebaikan Allah bagi para hambanya di dalam waktu dan tempat tersebut”.[7] Diantara keutamaan puasa ‘Asyura adalah;
 1- Menghapus dosa satu tahun yang lalu
Rasululloh bersabda:
صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Puasa ‘Asyura aku memohon kepada Allah agar dapat menghapus dosa setahun yang lalu.[8]
Imam an-Nawawi berkata: “Keutamaannya menghapus semua dosa-dosa kecil. Atau boleh dikatakan menghapus seluruh dosa kecuali dosa besar”.[9]
 2- Nabi sangat bersemangat untuk berpuasa pada hari itu
Ibnu Abbas berkata:
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلاَّ هَذَا الْيَوْمَ: يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ
Aku tidak pernah melihat Nabi benar-benar perhatian dan menyengaja untuk puasa yang ada keutamaannya daripada puasa pada hari ini, hari ‘Asyura dan puasa bulan Ramadhon.[10]
 3- Hari dimana Allah menyelamatkan Bani Isroil
Ibnu Abbas berkata: “Nabi tiba di Madinah dan dia mendapati orang-orang Yahudi sedang berpuasa A’syuro. Nabi bertanya: “Puasa apa ini?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari yang baik, hari dimana Allah telah menyelamatkan Bani Israil dari kejaran musuhnya, maka Musa berpuasa sebagai rasa syukurnya kepada Allah. Dan kami-pun ikut berpuasa. Nabi berkata: “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”. Akhirnya Nabi berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa juga”.[11]
 4- Puasa ‘Asyura dahulu diwajibkan
Dahulu puasa ‘Asyura diwajibkan sebelum turunnya kewajiban puasa Ramadhan. Hal ini menujukkan keutamaan puasa ‘Asyura pada awal perkaranya.
Ibnu Umar berkata: “Nabi dahulu puasa ‘Asyura dan memerintahkan manusia agar berpuasa pula. Ketika turun kewajiban puasa Ramadhan, puasa ‘Asyura ditinggalkan”.[12]
 5- Jatuh pada bulan haram
Nabi bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ
Puasa yang paling afdhol setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah al-Muharrom.[13]
Semoga kita diberi kemudahan untuk melaksanakan puasa Asyura. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

[1] Syarah Shahih Muslim 8/12, Fathul Bari, Ibnu Hajar 4/671, Mukhtashor Shahih Muslim, al-Mundziri hal.163-Tahqiq al-Albani, al-Mughni 4/441, Subulus Salam, as-Shon’ani 2/671
[2] HR.Bukhari: 2004, Muslim: 1130
[3] Lathoiful Ma’arif hal.102-107
[4] HR.Bukhari: 2002, Muslim: 1125
[5] Bahkan para ulama telah sepakat bahwa puasa ‘Asyura sekarang hukumnya sunnah tidak wajib. Ijma’at Ibnu Abdil Barr 2/798, Abdullah Mubarak Al Saif, Shahih Targhib wa Tarhib, al-Albani 1/438, Tuhfatul Ahwadzi, Mubarak Fury 3/524, Aunul Ma’bud, Syaroful Haq Azhim Abadi 7/121
[6] HR.Muslim: 1134
[7] Qowaid al-Ahkam, al-‘Izz bin Abdis Salam 1/38, Fadhlu ‘Asyura wa Syahrulloh al-Muharrom, Muhammad as-Sholih hal.3
[8] HR.Muslim: 1162
[9] Majmu’ Syarah al-Muhadzzab, an-Nawawi 6/279
[10] HR.Bukhari: 2006, Muslim: 1132
[11] HR.Bukhari: 2004, Muslim: 1130
[12] HR.Bukhari: 1892, Muslim: 1126
[13] HR.Muslim: 1163

Penulis: Ustadz Syahrul Fatwa bin Luqman (Penulis Majalah Al Furqon Gresik)
Artikel Muslim.Or.Id
Baca yang lengkap ...

Kamis, 15 Oktober 2015

1 MUHARAM - Mabit Muhasabah Akhir Tahun IRSAD [13 OKT 15]



Tahun baru !
Banyak yg ga sadar klo misalnya sekarang itu udah mencapai akhir tahun, dan udah masuk moment-nya tahun baru.
Kok gitu? ya iyalah. cek nama2 bulan dibawah !
  • 1. Muharram
  • 2. Shafar
  • 3. Rabi'ul Awal
  • 4. Rabi'ul Akhir
  • 5. Jumadil Awal
  • 6. Jumadil Akhir
  • 7. Rajab
  • 8. Sya'ban
  • 9. Ramadhan
  • 10. Syawal
  • 11. Dzulqa'idah
  • 12. Dzulhijjah   
akhir tahun , bukan desember, tapi Dzulhijjah.
Nah, IRSAD ngadain yg namanya mabit muhasabah, introspeksi diri di malam tahun baru.


Ada tamu spesial, adek2 dari smp 11 ikut meramaikan agenda. Yang bikin tambah bangganya lagi, waktu jadwal qiyamul lail, mereka tetep semangat ! Yosh.
Semoga tahun depan tambah barokah hhe ..

Ini nih sekilas u/ dokumentasi agendanya   ....


https://scontent-hkg3-1.xx.fbcdn.net/hphotos-xap1/v/t1.0-9/12112428_685934148174789_3768870595324337313_n.jpg?oh=e5bc0e1ae05f67bcece6e3a122fc765c&oe=56CAAA2A
 
 
 
 
Gimana kabar tahun baru mu?
 
Baca yang lengkap ...

Kamis, 24 September 2015

MABIT Halaqah (19SEP15) (Dokumentasi Only)






Baca yang lengkap ...

Suasana Idul Adha di SMANDA

Suasana Idul Adha di SMA N 2 Kotabumi,

(24 September 2015)-para pengurus rohis dan MARBOT belajar mengurus hewan qurban ^^








Baca yang lengkap ...

Selasa, 22 September 2015

Mengenai Shaum Arafah

Selain ibadah haji dan kurban, ada amalan utama lainnya di bulan Dzulhijjah yang sangat dianjurkan utuk dilakukan umat Islam, yaitu shaum (puasa) Arafah yang jatuh sehari sebelum Hari Raya Idul Adha atau di saat Jama’ah Haji berkumpul di Padang Arafah.
Dalam sejarah Islam, anjuran shaum Arafah ini muncul di masa generasi awal Sahabat Ridwanullah Ta’ala ‘Anhum yang memiliki semangat kuat dan membara untuk berlomba dalam hal kebaikan.
Para sahabat yang tidak mampu berangkat haji ingin tahu, apakah mereka juga bisa mendapatkan pahala yang sama dengan manusia yang berkesempatan melakukan ibadah haji dan wukuf di ‘Arafah. Maka jawaban Nabi adalah mereka dianjurkan melakukan shaum Arafah.
Ibadah ini memiliki keutamaan yang semestinya tidak ditinggalkan seorang muslim. Sebab, Shaum Arafah ini disunnahkan bagi umat Islam yang tidak berkesempatan menunaikan ibadah haji.
Imam Muslim (w. 261 H) meriwayatkan sebuah hadits di dalam kitab ‘Shahih Muslim, dari Abu Qatadah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
Artinya:“Puasa ‘Arafah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (H.R. Muslim)
Mengenai pengampunan dosa karena berpuasa Arafah, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah dosa kecil.
Al-Imam An-Nawawi (w.676 H) Rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini mengatakan, hadits-hadits semacam ini mempunyai dua penafsiran :
Pertama, menghapus dosa-dosa kecil dengan syarat ia tidak melakukan dosa besar. Jika ada dosa besar, maka tidak akan menghapus apapun, baik dosa besar ataupun dosa kecil.
Kedua, Dan ini adalah pendapat yang lebih rajih (mendekati kebenaran lagi terpilih), yakni shaum Arafah akan menghapus setiap dosa kecil. Maksudnya adalah bahwa Allah Ta’ala mengampuni seluruh dosanya kecuali dosa besar. Al-Qadhi ‘Iyadh (w. 544 H) Rahimahullahu mengatakan, apa yang disebutkan dalam hadits-hadits ini berbicara tentang pengampunan terhadap dosa-dosa kecil, selain dosa besar. Inilah madzhab Ahlus-Sunnah, karena dosa besar hanya bisa dihapus dengan taubat atau rahmat Allah Ta’ala.
Sebagian ulama lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan penghapusan dosa untuk tahun depan adalah Allah Ta’ala menjaganya dari melakukan dosa di tahun tersebut.
Dalam hal ini, Al-Imam Ash-Shan’any (w.1182 H) mengatakan,“Sulit diterima penghapusan dosa yang belum terjadi, yaitu dosa tahun yang akan datang. Pendapat itu dibantah dengan alasan bahwa yang dimaksudkan adalah ia diberi taufiq (bimbingan) di tahun yang akan datang untuk tidak melakukan dosa.
Hanya saja itu dinamakan penghapusan untuk penyesuaian dengan istilah tahun lalu atau jika dia melakukan dosa tahun yang akan datang, maka ia diberi taufiq untuk melakukan suatu amal yang akan menghapuskannya”.
Terlepas dari ikhtilaf para ‘Ulama, Rasulullah menyampaikan kabar gembira kepada kita, saat orang-orang berhaji dan berlomba mencari kebaikan, maka yang tidak ikut berangkat juga mempunyai kesempatan untuk ikut berlomba dalam hal kebaikan. Subhanallah, inilah sisi keindahan Islam yang senantiasa membuka pintu-pintu kebaikan bagi pemeluknya.
Hukum Puasa ‘Arafah
Ibnu Muflih (Ulama Hambali, w. 763 H) mengatakan, “Disunnahkan melaksanakan puasa pada 10 hari pertama Dzulhijjah, lebih lagi puasa pada hari kesembilan, yaitu hari Arafah. Demikianlah yang disepakati oleh para ulama.”
Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah ketika menjelaskan perkara ini, beliau mengatakan, “Adapun hukum puasa ‘Arafah menurut Al-Imam Asy-Syafi’I (w.204 H) dan ulama Madzhab Syafi’iyyah adalah disunnahkan puasa Arafah bagi yang tidak berwukuf di Arafah. Adapun orang yang sedang berhaji dan saat itu berada di Arafah menurut beliau disunnahkan bagi mereka untuk tidak berpuasa, sejalan dengan pendapat para ulama Syafi’iyyah berdasarkan hadits dari Ummul Fadhl:
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ
Artinya:“Dari Ummul Fadhl binti Al Harits, bahwa orang-orang berbantahan di dekatnya pada hari Arafah tentang puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka mengatakan, ‘Beliau berpuasa.’ Sebagian lainnya mengatakan, ‘Beliau tidak berpuasa.’ Maka Ummul Fadhl mengirimkan semangkok susu kepada beliau, ketika beliau sedang berhenti di atas unta beliau, maka beliau meminumnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Hadits lainnya disebutkan oleh Maimunah :
عَنْ مَيْمُونَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّاسَ شَكُّوا فِى صِيَامِ النَّبِىِّ يَوْمَ عَرَفَةَ ، فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِحِلاَبٍ وَهْوَ وَاقِفٌ فِى الْمَوْقِفِ ، فَشَرِبَ مِنْهُ ، وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ
Artinya:“Dari Maimunah Radhiyallahu ‘Anha, ia berkata bahwa orang-orang saling berdebat apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Arafah. Lalu Maimunah mengirimkan pada beliau satu wadah (berisi susu) dan beliau dalam keadaan berdiri (wukuf), lantas beliau minum dan orang-orang pun menyaksikannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dan juga riwayat dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhuma :
 وَقَدْ رُوِيَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ حَجَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَصُمْهُ يَعْنِي يَوْمَ عَرَفَةَ وَمَعَ أَبِي بَكْرٍ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُمَرَ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَصُمْهُ
Artinya:“Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma bahwa beliau berkata, aku telah melaksanakan haji bersama Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam sedangkan beliau tidak berpuasa di ‘Arafah, aku juga pernah berhaji bersama Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu, dia juga tidak berpuasa di ‘Arafah, aku pernah juga berhaji bersama ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu dan dia tidak berpuasa, demikian juga halnya bersama ‘Utsman dia juga tidak berpuasa.”
Hadits ini diamalkan oleh kebanyakan para ulama, mereka mensunnahkan bagi jama’ah haji untuk tidak berpuasa di ‘Arafah supaya kuat untuk berdo’a.
Berkaitan dengan hal ini, Al-Imam At-Tirmidzi (w.209) mengatakan, “Para ulama gemar melakukan puasa di hari ‘Arafah, kecuali jika mereka berada di ‘Arafah (melaksanakan wuquf haji).”
Waktu Puasa ‘Arafah
Terjadi ikhtilaf dikalangan para ‘Ulama mengenai hal ini, yakni waktu melaksanakan puasa ‘Arafah. Sebagian ulama memahami bahwa ibadah ini dan juga ibadah Qurban (‘Idul Adha) tergantung pada sebab terlihatnya bulan Dzulhijjah, sebagaimana hal yang sama dalam menentukan permulaan Ramadhan dan Syawwal.
Sementara itu, ulama lain berpendapat bahwa ibadah ini mengikuti ibadah haji di tanah Haram yang merupakan bentuk solidaritas para hujjaj. Dan dalam hal ini, pendapat kedua lebih mendekati kebenaran, hal itu didasarkan oleh beberapa alasan berikut :
Pertama, Telah dijelaskan sebelumnya bahwa puasa ‘Arafah disunnahkan hanya bagi mereka yang tidak melaksanakan wuquf di ‘Arafah. Ini mengandung pengertian bahwa puasa ‘Arafah ini terkait dengan pelaksanaan ibadah haji/ wuquf. Jika para hujjaj telah wuquf, maka pada waktu itulah disyari’atkannya melaksanakan puasa ‘Arafah bagi mereka yang tidak melaksanakan haji.
Dalam nash-nash tidak pernah disebutkan puasa di hari kesembilan, namun hanya disebutkan puasa ‘Arafah. Berbeda halnya dengan puasa ‘Asyuura yang disebutkan tanggal-nya secara spesifik.
Rasulullah bersabda,
عَبْد اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، يَقُولُ: حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ» قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya:“Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallaahu ‘Anhuma, ia berkata :“Ketika Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam berpuasa di hari ‘Asyura dan memerintahkannya, para shahabat berkata : ‘Sesungguhnya ia adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani’. Maka beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:‘Tahun depan, insya Allah, kita akan berpuasa di hari kesembilan”. Ibnu ‘Abbas berkata : “Sebelum tiba tahun depan, Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.” (H.R. Muslim)
Dan juga sabda Rasulullah,
عن ابْنَ عَبَّاسٍ، يَقُولُ فِي يَوْمِ عَاشُورَاءَ : خَالِفُوا الْيَهُودَ ، وَصُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ .
Artinya:“Dari Ibnu ‘Abbaas ia berkata tentang puasa ‘Asyura’ : “Selisihilah orang-orang Yahudi dan berpuasalah di hari kesembilan dan kesepuluh” (H.R. Al-Baihaqy)
Adapun perintah berpuasa ‘Arafah adalah,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهُ، وَ السَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهُ
Artinya:“Puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang”
Kedua, telah bersabda Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam,
فِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ، وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ
Artinya:“Berbuka kalian adalah di hari kalian berbuka, penyembelihan kalian adalah di hari kalian menyembelih, dan ‘Arafah kalian adalah di hari kalian melakukan wuquf di ‘Arafah” (H.R Asy-Syafi’iy dan Al-Baihaqy dari Atha’)
Mengenai hadits ini, Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata,“Telah berkata ulamamadzhab Syafi’iyyah, “Tidaklah hari berbuka (‘Idul fitri) itu mempunyai pengertian hari pertama bulan Syawwal secara ‘muthlaq. Ia adalah hari dimana orang-orang berbuka padanya dengan dalil hadits ini (yaitu : ‘Berbuka kalian di hari kalian berbuka’).
Begitu pula dengan hari penyembelihan (Yaumun-Nahr/’Idul-Adha). Begitu pula dengan hari ‘Arafah, ia adalah hari yang nampak bagi orang-orang bahwasannya hari itu adalah hari ‘Arafah, sama saja apakah itu hari kesembilan atau hari kesepuluh. Al-Imam Asy-Syaafi’iy Rahimahullah berkata tentang hadits ini : Maka dengan inilah kami berpendapat.”
Jadi jelas perbedaannya bahwa puasa ‘Arafah tidak tergantung pada urutan hari dalam bulan Dzulhijjah, namun bergantung pada pelaksanaan wuquf di ‘Arafah.
Realisasi Puasa ‘Arafah
Setelah kita mengetahui perkara ini, tinggal yang terpenting adalah prakteknya. Bagaimanapun juga, dengan merealisasikan puasa ‘Arafah berarti kita telah menghidupkan salah satu sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Selain itu, artikel sederhana ini juga bisa disampaikan kepada keluarga dan saudara kita yang lain, maka itu lebih baik, agar kita memperoleh pahala karena telah mengajak orang lain berbuat baik.
Rasulullah bersabda,
فَوَاللَّهِ لأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
Artinya:“Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk (oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Dan juga sabda Rasulullah,
 مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
Artinya:“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim).
Hikmah Puasa ‘Arafah
Salah satu rahmat, hidayah serta karunia Allah pada hari ‘Arafah adalah bahwa seseorang yang melaksanakan puasa pada hari ini, Allah akan mengampuni serta menjaganya dari dosa setahun yang lalu dan yang akan datang, maka sudah sekiranya kita berupaya untuk berpuasa dihari ‘Arafah.
Kemudian hikmah yang lainnya adalah bahwa dengan berpuasa pada hari ‘Arafah sebagai ganti dari ibadah Haji sebagaimana yang dilakukan para Shahabat. Tidak bisa dipungkiri, ketika para hujjah saling berlomba dalam hal kebaikan (Fastabiqul khairat), maka sudah seharusnya bagi seorang muslim yang tidak melaksanakan wuquf di padang ‘Arafah untuk tetap ikut andil dalam perlombaan dalam hal kebaikan.
Semoga Allah memudahkan kita dalam urusan serta ibadah kita dan amal ibadah kita diterima disisi Allah.
Wal Ilmu ‘Indallahi, Wallahu A’lam.
Baca yang lengkap ...
Designed By S B T
Re-designed by IRSAD's SMI Crew